Kamis, 28 April 2011

Quranic Leadership: Belajar Konsisten


Menjadi pribadi yang konsisten memang tidak mudah. Dalam bahasa agama, kita mengenal istilah “istiqomah” yang maknanya sering didekatkan dengan konsistensi. Dalam Surat Huud ayat 112, ada perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau selalu istiqomah, “Fastaqim...”. Bahkan turunnya ayat itu menjadikan rambut beliau beruban. Ini menunjukkan demikian beratnya perintah untuk tetap istiqomah, konsisten di jalan yang benar.

Konsisten, mungkinkah gambarannya seperti seorang yang berjalan di atas jalan lurus dan dia memandang jauh ke depan? Dia hanya melihat ke satu titik yang menjadi tujuannya dan tak mau menengok kiri-kanan betapapun di sekitar jalan itu banyak tempat yang menarik untuk disinggahi. Banyak orang yang singgah di tempat-tempat itu. Sebagiannya dia kenal dengan baik. Bahkan mereka mengajaknya untuk singgah. Segala bujuk rayu, kadang disertai paksaan, tak henti-hentinya menghadang. Tapi dia tetap memandang jauh ke depan, melihat tujuannya dengan jelas. Orang lain mungkin tak melihat tempat yang dia tuju atau mereka melihatnya sebagai titik kecil yang lebih baik diabaikan saja. Dia melihatnya begitu terang, jelas sekali. Dan demikianlah dia tetap konsisten, tak menoleh kiri-kanan, tak peduli berapa orang yang mempedulikan dirinya. Dia tetap persisten, maju terus sehingga sampai kepada tujuannya yang sejati. Dia pun tetap resisten, bisa mencegah dan menolak bujuk rayu serta paksaan untuk singgah di tempat peristirahatan pinggir jalan.

Ya, konsistensi itu memang indah tapi juga tidak mudah. Perjuangan untuk konsisten seringkali terasa pahit namun buahnya terasa manis. Pada sebagian orang yang sudah terbiasa ‘menderita’ dalam perjuangannya, mereka bahkan bisa merasakan manisnya kepahitan dalam perjuangan. Kenapa? Karena visi yang jauh ke depan menembus batas-batas duniawi terasa begitu manis di hati mereka. Sehingga, derita perjuangan yang mereka alami tak berarti apa-apa dibandingkan indahnya tujuan mereka. Sebagai perumpamaan, mungkin begitulah yang dialami perempuan-perempuan Mesir yang mengiris-iris tangan mereka sendiri tanpa merasa sakit sebab mereka terbuai keindahan wajah Nabi Yusuf yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Sungguh, penampakan Yusuf membuat mereka tak merasakan sakit, bahkan sempat memuji-muji Allah dan mengatakan, “Ini bukan manusia, melainkan malaikat yang mulia!”.

“Perempuan-perempuan itu,” tulis KH. Rahmat Abdullah (dalam artikel yang berjudul “Energi Cinta”), “...bukan contoh yang baik untuk cinta, kecuali untuk mengambil ‘ibrah (pelajaran), bila seraut wajah yang tak kebal luka dapat membuat mereka tak merasakan sakit mengiris-iris jari, bagaimana leburnya semua rasa sakit dan pengorbanan para pecinta, ketika kekuatan bashirah (mata hati) mereka diperlihatkan kesenangan abadi di surga.” []

www.quranicleadership.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar