Jumat, 12 Agustus 2011

Renungan Ramadhan

"Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang."


Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah dan semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus.

Edaran yang pasti dari keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan grativasi “bumi jasad” memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.

Kini dibulan ini (Ramadhan), ia begitu ringan, menjelajah langit ruhani. Carilah bulan diluar Ramadlan saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama dimalam hari, saat orang menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan “ular harta” yang membelitnya.

Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ as-shiyami
Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ al-qiyami.

Keqariban ditengah keghariban (pendekatan diri ditengah keterasingan)

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya : “Ya Rasul ALLAH, dekatkah tuhan kita? Sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-NYA?”

Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika beban-beban orang bertuhan telah mereka persetankan.

Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat dan seterusnya, padahal mereka masih berpijak dibumi-NYA.

Betapa menyedihkan orang yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-NYA. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikutnya, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183 – 187 surah Al Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. “Dan apabila hamba-hambaku bertanya tentang Aku, maka katakanlah : sesungguhnya Aku ini dekat…( Al Baqarah : 185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban (kedekatan) ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung kebangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukangtiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi Negara, bisniskan hukum, atau jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa berstatus bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit? Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak lagi kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Al Qur’an dulu baru yang lain

Bacalah Al-Qur’an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscahya Islam itu terasa nikmat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Al-Qur’an membentuk frame berfikir. Al-Qur’an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolak ukur keadilan, kewajaran, dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz’i. penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh, aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi umat.

Betapa da’wah Al-Qur’an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan dijantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad digaris depan, jauh sejak awal sejarah ini bermula. Bila Rasullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur’annya. Bila menyusun komposisi pasukan, diletakannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan dimasa awal sekali ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan “Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di ka’bah?” Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukul musyrikin kota Makkah.

Nuzul Qur’an di Hira, Nuzul Qur’an di hati


Ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi petunjuk sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalakan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan jadi kacau. Ada juga orang berfikir malam qodar itu selesai sudah karena ALLAH menyatakan dengan anzalnahu ( kami telah menurunkannya) tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Malaikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah para malaikat dan ruh), dengan kata kerja permanen.

Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, munafiqnya dan shiddiqnya. Yahudi dan nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang dikawasan?

Jadi ketika Ramadhan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahaginya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al-Qur’an dihati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badanpun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan dalam setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah keterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan dipuncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Puasa: Da’wah, Tarbiyah, Jihad dan Disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) disaat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan, setelah siangnya berlapar haus atau menahan semua pembantal lahir bathin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan.

Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air diakhir malam, lapar dan haus diterik siang.

Mereka biasa berburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai keakhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? “Fadiqu’s Syai’la Yu’thihi’ (yang tak punya apa-apa tak kan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun dibulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yang menunggu jawaban serius.dikutip dari a

Jumat, 03 Juni 2011

"Hari inikah Pemakamanku?"


Hari inikah pemakamanku?
Perlahan, tubuhku ditutupi tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...

Orang tua yang belum sempat ku bahagiakan pun pergi
Saudara yang sering ku sakiti pun tak menemani
Teman dekat yang kubanggakan tak juga disisi
Harta yang ku kumpulkan tak juga terbawa sedikitpun
Jasad yang dulu tegak dengan kesombongan kini terdiam tak berkutik

Tetapi aku tetap sendiri,
disini, menunggu perhitungan ...

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri...

Tuhanku, (entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja...
Aku akan berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku,
yang selama ini telah aku sakiti hatinya
yang selama ini telah aku bohongi
Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yg sering ku umbar dulu.

Dan Tuhan,
beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,
teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
maafkan aku ayah dan ibu,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu ...

beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
untuk sungguh-sungguh beramal soleh,
Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu,
bersama mereka ...

begitu sesal diri ini,
karena hari-hari telah berlalu tanpa makna penuh kesia-siaan,
kesenangan yang pernah kuraih dulu,
tak ada artinya sama sekali ...

mengapa ku sia-siakan saja,
waktu hidup yang hanya sekali itu,
andai ku bisa putar ulang waktu itu ...

Hari inikah pemakamanku?
dan semua menjadi tak terma'afkan,
dan semua menjadi terlambat,
dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan ...
--------------------

Kamis, 28 April 2011

Quranic Leadership: Belajar Konsisten


Menjadi pribadi yang konsisten memang tidak mudah. Dalam bahasa agama, kita mengenal istilah “istiqomah” yang maknanya sering didekatkan dengan konsistensi. Dalam Surat Huud ayat 112, ada perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau selalu istiqomah, “Fastaqim...”. Bahkan turunnya ayat itu menjadikan rambut beliau beruban. Ini menunjukkan demikian beratnya perintah untuk tetap istiqomah, konsisten di jalan yang benar.

Konsisten, mungkinkah gambarannya seperti seorang yang berjalan di atas jalan lurus dan dia memandang jauh ke depan? Dia hanya melihat ke satu titik yang menjadi tujuannya dan tak mau menengok kiri-kanan betapapun di sekitar jalan itu banyak tempat yang menarik untuk disinggahi. Banyak orang yang singgah di tempat-tempat itu. Sebagiannya dia kenal dengan baik. Bahkan mereka mengajaknya untuk singgah. Segala bujuk rayu, kadang disertai paksaan, tak henti-hentinya menghadang. Tapi dia tetap memandang jauh ke depan, melihat tujuannya dengan jelas. Orang lain mungkin tak melihat tempat yang dia tuju atau mereka melihatnya sebagai titik kecil yang lebih baik diabaikan saja. Dia melihatnya begitu terang, jelas sekali. Dan demikianlah dia tetap konsisten, tak menoleh kiri-kanan, tak peduli berapa orang yang mempedulikan dirinya. Dia tetap persisten, maju terus sehingga sampai kepada tujuannya yang sejati. Dia pun tetap resisten, bisa mencegah dan menolak bujuk rayu serta paksaan untuk singgah di tempat peristirahatan pinggir jalan.

Ya, konsistensi itu memang indah tapi juga tidak mudah. Perjuangan untuk konsisten seringkali terasa pahit namun buahnya terasa manis. Pada sebagian orang yang sudah terbiasa ‘menderita’ dalam perjuangannya, mereka bahkan bisa merasakan manisnya kepahitan dalam perjuangan. Kenapa? Karena visi yang jauh ke depan menembus batas-batas duniawi terasa begitu manis di hati mereka. Sehingga, derita perjuangan yang mereka alami tak berarti apa-apa dibandingkan indahnya tujuan mereka. Sebagai perumpamaan, mungkin begitulah yang dialami perempuan-perempuan Mesir yang mengiris-iris tangan mereka sendiri tanpa merasa sakit sebab mereka terbuai keindahan wajah Nabi Yusuf yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Sungguh, penampakan Yusuf membuat mereka tak merasakan sakit, bahkan sempat memuji-muji Allah dan mengatakan, “Ini bukan manusia, melainkan malaikat yang mulia!”.

“Perempuan-perempuan itu,” tulis KH. Rahmat Abdullah (dalam artikel yang berjudul “Energi Cinta”), “...bukan contoh yang baik untuk cinta, kecuali untuk mengambil ‘ibrah (pelajaran), bila seraut wajah yang tak kebal luka dapat membuat mereka tak merasakan sakit mengiris-iris jari, bagaimana leburnya semua rasa sakit dan pengorbanan para pecinta, ketika kekuatan bashirah (mata hati) mereka diperlihatkan kesenangan abadi di surga.” []

www.quranicleadership.blogspot.com

Jumat, 15 April 2011

Sekiranya Anda Gagal


Sekiranya Anda mengalami kegagalan dalam usaha meraih cita-cita, tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Saya kira Anda menyepakati poin ini. Dan sekiranya Anda mengalami kegagalan yang begitu menyakitkan, selalulah curigai diri Anda sendiri. Mungkin kegagalan itu merupakan sinyal bahwa selama ini Anda kurang sungguh-sungguh dalam pencapaian cita-cita Anda. Anda belum konsisten. Atau mungkin cita-cita itu sendiri masih samar, belum ada deskripsi yang jelas bagi cita-cita Anda. Sekiranya cita-cita itu telah jelas, mungkin saja Anda belum mengoptimalkan potensi-potensi yang Anda miliki. Dengan kata lain, mungkin selama ini Anda belum benar-benar bersyukur. Namun jika Anda telah mengoptimalkan segala kemampuan Anda hingga batas maksimal dan Anda masih gagal juga, toh semua itu merupakan takdir yang Allah tetapkan atas Anda. Namun ingatlah bahwa itu hal itu perlu disikapi dengan bijak, bukan lantas Anda katakan, “Memang sudah nasib saya begini, mau diapakan lagi?” (alias berputus asa).

Kita semua ingin sukses dan tak ingin gagal. Tapi adakah orang yang hidupnya selalu sukses? Adakah orang yang selalu diberi kelapangan dan kesenangan sepanjang hidupnya? Jika Allah menghendaki, bisa saja hal semacam itu terjadi. Tapi Allah Mahaadil. Pasti Dia pergilirkan manusia dengan kesuksesan dan kegagalan, kelapangan dan kesempitan. Hidup ini, kadang menuntut kita ada di bawah dan kadang posisi kita ada di atas.

Orang yang berpikiran dan berhati luas akan selalu mendapatkan hikmah dari berbagai kondisi yang dialaminya. Baginya, sukses tidak selalu merupakan kemuliaan dan gagal bukan selalu merupakan kehinaan. Yang terpenting baginya, dalam keadaan sukses-gagal, senang-susah, lapang-sempit, suka-duka, kaya-miskin, kuat-lemah; dan dalam berbagai keadaan yang selalu berlawanan; dia selalu melihat ada intervensi Allah di sana.

Tepat sekali ungkapan Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam: “Ketika Allah memberimu, maka Dia memperlihatkan belas kasih-Nya padamu. Ketika Dia menolak memberimu, maka Dia memperlihatkan kekuasaan-Nya padamu. Dan dalam semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan menghadapmu dengan kelembutan-Nya.”.

Sering kita terpesona dengan keindahan kata-kata yang keluar dari hati seorang bijak yang mampu ‘membaca’ hakikat kehidupan, sehingga seolah kata-kata itu membuat hati kita mengangguk menyetujuinya. Memang kata-kata itu berkesan. Tapi jangan kita lupa, ada yang jauh lebih bermakna sementara banyak di antara kita melalaikannya, itulah kalam Allah.

Al-Qur’an. “Tiadalah Kami turunkan padamu Al-Qur’an ini untuk menyusahkanmu.” (Thaahaa: 2). Sedangkan manusia itu diciptakan Allah dalam keadaan bersusah payah. Tidak ada manusia yang tak pernah mengalami kesusahan. Seandainya pun ada manusia yang selalu dilapangkan hidupnya, pastilah dia tetap pernah mengalami kesusahan. “Sungguh telah Kami ciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4).

Al-Qur’an. Kita yakin bahwa Allah menurunkannya bukan untuk membuat kita jadi susah. Bahkan Al-Qur’an itu penawar bagi penyakit-penyakit di dalam hati, termasuk jika hati kita terasa sempit tatkala mengalami kegagalan.

Dengarkanlah Rasulullah mengajarkan sebuah doa, “Tiadalah seorang hamba tertimpa kesusahan dan problema lalu berdoa dengan membaca: [Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu. Berlaku padaku hukum-Mu. Adil untukku ketetapan-Mu. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama milik-Mu yang Engkau berikan atas diri-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau kuasai pada ilmu ghaib di sisi-Mu; jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyubur hatiku, cahaya jiwaku, pelita kesedihanku, penghapus duka lara dan gundah gulanaku.] niscaya Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantinya dengan kegembiraan.”

Jadi sadarilah, jika kita ingin hidup sukses di jalan kebenaran, kita harus siap dengan berbagai rintangan yang selalu ‘setia’ menghadang di tengah perjalanan. Berbagai rintangan itu tentu harus dihadapi dengan kesabaran dan harapan yang tak pernah pudar. Sangat besar kemungkinannya, kita mengalami beragam kesukaran hidup bahkan kegagalan bertubi-tubi. Kenapa? Karena kita ingin hidup sejahtera dalam keberkahan, sedangkan godaan dunia terus menantang dengan arus materialisme yang dibungkus dalam kemasan modern. Dan godaan setan ‘memaksa’ kita untuk terus bertarung dengan hawa nafsu kita sendiri.

Orang-orang berkompetisi memburu kekayaan, popularitas dan kedudukan. Mungkin kita termasuk orang-orang yang memasukkan poin-poin itu sebagai variabel kesuksesan kita. Memang, tabiat kecenderungan itu tak bisa kita salahkan. Tapi adakah kita ingin jadi Qarun? Atau seperti orang yang berangan-angan memiliki harta Qarun ketika dia menggelar karnaval kekayaannya? Lalu kita pun segera sadar saat Allah membenamkan dia dan hartanya ke dalam perut bumi. Seketika itu, kita koreksi paradigma keinginan kita.

Nasihat lama mengingatkan agar kita melihat ke atas dalam masalah keimanan atau keshalihan dan melihat ke bawah dalam hal kondisi duniawi. Ini sejalan dengan hadits riwayat Imam Bukhari bahwa Rasulullah mengatakan, “Jika seseorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan anak, hendaknya ia melihat orang yang lebih rendah darinya.”

Dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan juga begitu. Sekiranya kita gagal atau mengalami musibah yang tidak menyenangkan, maka hendaknya kita ingat akan Rasulullah SAW, betapa cobaan yang dialaminya lebih berat dibanding cobaan yang ditimpakan kepada siapapun di muka bumi. Singkatnya, bicara soal menikmati kesuksesan dan menelan pil pahit kegagalan adalah bicara tentang rekayasa pain and pleasure (kepedihan dan kesenangan). Ini rekayasa yang penting untuk dilakukan sebagai netralisasi hati atas segala hal yang kita alami dalam hidup ini. Apa itu rekayasa pain and pleasure?

Anda tentu setuju bahwa kegagalan itu pedih rasanya dan Anda pun sepakat bahwa kesuksesan itu menyenangkan. Yang kita bicarakan ini adalah kesuksesan dan kegagalan yang biasa dipahami sebagai tercapai atau tidaknya cita-cita kita, atau dengan kata lain kesuksesan dan kegagalan yang bersifat duniawi. Titik ekstrem bagi orang yang mengalami kesuksesan adalah kesombongan dan lupa diri. Sedangkan bagi orang yang mengalami kegagalan, maka dia akan putus asa dalam menjalani hidupnya. Dua sisi ekstrem itu bisa dicegah atau diobati dengan rekayasa pain and pleasure. Caranya adalah dengan mengalihkan pandangan kepada the real pain and pleasure, kepedihan dan kesenangan yang sebenarnya.

Apa itu pain dan pleasure yang sebenarnya? Itulah derita abadi siksa neraka dan juga sebaliknya kesenangan abadi nikmat surga. Kalau kita mengalami kegagalan atau ujian hidup lainnya yang terasa sangat berat dan menyakitkan, maka ingatlah kesenangan abadi di surga sehingga kita tidak menjadi putus asa. Dan jika kita sukses atau mendapat kesenangan lain, maka ingatlah derita abadi di neraka sehingga kita tidak menjadi sombong dan lupa diri.

Bisa juga berlaku dengan logika sebaliknya. Kalau mendapatkan kesenangan di dunia, maka kita ingat bahwa kesenangan itu belum apa-apa dibanding kesenangan abadi di surga. Dan jika kita mendapatkan kepedihan di dunia, maka kepedihan itu pun tak seberapa kalau dibandingkan dengan derita abadi di neraka. Dengan cara ini, didukung interaksi kita dengan Al-Qur’an, maka kita bisa meraih predikat kebijaksanaan. Dan kita pun bisa menikmati hidup ini setiap saat dan keadaan. Jangankan kesuksesan, kegagalan saja bisa dinikmati. []
(Quranic Enlightenment)

Rabu, 06 April 2011

Hak Seorang Muslim atas Muslim lainnya





Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam perkara:

(1) Apabila engkau menjumpainya engkau berikan salam kepadanya
(2) Apabila ia mengundangmu engkau memperkenankan undangannya
(3) Apabila ia meminta nasehat, engkau menasehatinya
(4) Apabila ia bersin dan memuji Allah, hendaklah engkau mentasymitkannya (berdoa untuknya)
(5) Apabila ia sakit hendaklah engkau menjenguknya
(6) Apabila ia mati hendaklah engkau antarkan jenazahnya."
(HR.Muslim dan Tirmizi)

Jumat, 18 Maret 2011

The Power of Love


Cinta
membuat si dungu menjadi pandai
membuat si malas menjadi rajin
membuat si kikir menjadi dermawan
membuat si lemah menjadi kuat
membuat si miskin menjadi kaya
membuat si jahat menjadi baik
membuat setan menjadi malaikat
membuat hitam menjadi hitam
membuat suram menjadi cerah
membuat sedih menjadi bahagia
membuat tangis menjadi tawa

Cinta dapat merubah segalnya
sungguh sang pecinta itu amatlah lemah
dia menjadi takluk kepada yang dipuja

Rabb jadikanlah cintaku kepadaMu melebihi cintaku kepada apapun dan kepada siapapun


Rabu, 16 Maret 2011

Quranic Leadership: Belajar Konsisten


Menjadi pribadi yang konsisten memang tidak mudah. Dalam bahasa agama, kita mengenal istilah “istiqomah” yang maknanya sering didekatkan dengan konsistensi. Dalam Surat Huud ayat 112, ada perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau selalu istiqomah, “Fastaqim...”. Bahkan turunnya ayat itu menjadikan rambut beliau beruban. Ini menunjukkan demikian beratnya perintah untuk tetap istiqomah, konsisten di jalan yang benar.

Konsisten, mungkinkah gambarannya seperti seorang yang berjalan di atas jalan lurus dan dia memandang jauh ke depan? Dia hanya melihat ke satu titik yang menjadi tujuannya dan tak mau menengok kiri-kanan betapapun di sekitar jalan itu banyak tempat yang menarik untuk disinggahi. Banyak orang yang singgah di tempat-tempat itu. Sebagiannya dia kenal dengan baik. Bahkan mereka mengajaknya untuk singgah. Segala bujuk rayu, kadang disertai paksaan, tak henti-hentinya menghadang. Tapi dia tetap memandang jauh ke depan, melihat tujuannya dengan jelas. Orang lain mungkin tak melihat tempat yang dia tuju atau mereka melihatnya sebagai titik kecil yang lebih baik diabaikan saja. Dia melihatnya begitu terang, jelas sekali. Dan demikianlah dia tetap konsisten, tak menoleh kiri-kanan, tak peduli berapa orang yang mempedulikan dirinya. Dia tetap persisten, maju terus sehingga sampai kepada tujuannya yang sejati. Dia pun tetap resisten, bisa mencegah dan menolak bujuk rayu serta paksaan untuk singgah di tempat peristirahatan pinggir jalan.

Ya, konsistensi itu memang indah tapi juga tidak mudah. Perjuangan untuk konsisten seringkali terasa pahit namun buahnya terasa manis. Pada sebagian orang yang sudah terbiasa ‘menderita’ dalam perjuangannya, mereka bahkan bisa merasakan manisnya kepahitan dalam perjuangan. Kenapa? Karena visi yang jauh ke depan menembus batas-batas duniawi terasa begitu manis di hati mereka. Sehingga, derita perjuangan yang mereka alami tak berarti apa-apa dibandingkan indahnya tujuan mereka. Sebagai perumpamaan, mungkin begitulah yang dialami perempuan-perempuan Mesir yang mengiris-iris tangan mereka sendiri tanpa merasa sakit sebab mereka terbuai keindahan wajah Nabi Yusuf yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Sungguh, penampakan Yusuf membuat mereka tak merasakan sakit, bahkan sempat memuji-muji Allah dan mengatakan, “Ini bukan manusia, melainkan malaikat yang mulia!”.

“Perempuan-perempuan itu,” tulis KH. Rahmat Abdullah (dalam artikel yang berjudul “Energi Cinta”), “...bukan contoh yang baik untuk cinta, kecuali untuk mengambil ‘ibrah (pelajaran), bila seraut wajah yang tak kebal luka dapat membuat mereka tak merasakan sakit mengiris-iris jari, bagaimana leburnya semua rasa sakit dan pengorbanan para pecinta, ketika kekuatan bashirah (mata hati) mereka diperlihatkan kesenangan abadi di surga.” []

from Quranic enlightenment

Kamis, 03 Maret 2011

Rahasia Nikmatnya Hidup

Assalamu'alaikum wr wb

oleh Aa Gym

http://www.eramuslim.com/fckfiles/image/ramadhan/sujud-syukur-1.jpg

Bila hidup ini tidak ada tantangan, tentu tidak akan menarik. Terlebih dahulu di-cast dengan ilmu, lalu kita amalkan dalam kehidupan, seperti bertarung dalam kehidupan nyata ini. Tapi kita harus benar-benar bisa mengukur diri kita. Misalnya, ketika terjadi pertemuan dengan kalangan tertentu, ternyata membuat keimanan kita turun, berarti pertemuannya tidak bagus untuk kita. Berarti iman kita belum cukup untuk bisa menandingi pengaruh negatif dari lingkungan itu. Maka untuk sementara waktu kita perlu berhijrah dari lingkungan tersebut, dalam rangka menguatkan diri. Sehingga pada waktunya, kita sudah siap untuk terjun ke kehidupan sesungguhnya, namun kita sudah berbekal dengan kemampuan yang lebih baik. Kita harus mendakwahi mereka, ketika kita sudah yakin dengan kekuatan diri kita. Di-cast bisa juga dengan cara berkumpul dengan orang-orang shaleh. Diamnya saja akan berpengaruh terhadap keyakinan kita.

Yang paling membuat hidup kita tidak nyaman adalah kebingungan, ragu-ragu, dan ketidakjelasan, karena setiap yang meragukan membuat hidup kita tidak jelas. Dalam menjalani hidup ini, apabila belum mengenal peta hidup dengan jelas, maka menyebabkan hidup menjadi gamang, ragu, dan sangat melelahkan.

Dalam menjalani hiduup ini, harus jelas tujuannya dan bagaimana dalam melangkahnya, siapa Tuhan kita, siapa kita, apa yang bahaya, dan apa yang menyelamatkan, akan ke mana kita, dan sebagainya. Kalau sudah semuanya jelas, maka akan mantap dan tidak akan bingung dalam menjalani hidup.

Manusia diciptakan dan diurus oleh Allah SWT. Tugas kita di dunia ini adalah menjadi hamba Allah. Mematuhi apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Perkara rejeki adalah mutlak dalam genggaman Allah. Kalau kita patuh kepada Allah dan yakin dengan kekuasaan Allah, Sang Pemberi rejeki pasti akan menjamin segala kebutuhan rejekinya.

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. QS At-Thalaq : 2-3

Kita bekerja bukan hanya untuk mencari uang, tapi merupakan amal shaleh dalam menjemput rejeki atau nafkah kita. Yang dicari keberkahan dan ridho Allah SWT. Orang yang mencari ridho Allah tidak akan ragu kepada Allah SWT sebagai pembagi rejeki, pasti kita akan bertemu dengan rejek kita, sehingga tidak akan mau berbuat haram. Kalau seseorang tidak mencari ridho Allah, maka ia bisa menghalalkan berbagai cara.

Dengan demikian, berbeda antara orang yang bekerja hanya untuk mencari uang, dengan orang yang bekerja untuk mencari ridho-Nya. Orang yang mencari ridho Allah, sama sekali tidak ada keraguan, yakin pasti bertemu dengan rejekinya. Sepanjang sesuai dengan perintah Allah, tidak perlu menghiba-hiba kepada manusia, karena manusia tidak dapat mendatangkan apa pun, tanpa ijin Pemilik Semesta Alam.

http://www.eramuslim.com/fckfiles/image/ramadhan/sujud-syukur-2.jpg

Kita bergaul dengan manusia, bukan untuk menuhankan, dan memelas kepada manusia. Kita bergaul dengan manusia karena Allah menyuruh kita bergaul dengan manusia dengan baik. Kita berbuat baik bukan untuk ingin dihargai. Orang menghargai, dan mengakui kebaikan kita atau tidak, bukan urusan kita. Urusan kita adalah bergaul dengan manusia dengan baik sesuai perintah-Nya. Tidak boeh takut kepada manusia. Diri kita milik Allah, tak akan jatuh sehelai rambut pun tanpa ijin pemilik-Nya. Tidak akan pernah mati, kecuali Allah yang mematikan.

Manusia bukan pemberi rejeki, manusia hanya makhluk sebagai jalan dari ketentuan Allah. Tugas kita jelas, menjemput rejeki kita dengan cara yang halal. Semua anak-anak kita ada rejekinya. Tugas orang tua mengantar anaknya mengenal siapa penciptanya, Lukmanul Hakim menjadi contoh bagaimana seorang hamba Allah, yang tidak menuhankan selain Allah. Beliau mendidik anak untuk mengenal-Nya, dengan itu akan berjumpa dengan rejekinya yang berkah. Dan akan berjumpa dengan rejeki dan takdir terbaik dalam kehidupannya. Setelah kita mati, warisan terbesar kita kepada anak-anak kita adalah keyakinan dan istiqamah taat kepada Allah.

Dunia ini hanya tempat mampir sebentar. Semua kita akan tinggalkan. Dunia tidak ada-apa nya. Dunia bukan untuk memperbudak kita, tapi dunia diciptakan untuk menjadi pelayan kita. Harta, pangkat, gelar, tidak ada apa-apanya. Orang-orang zalim dan ingkar diberi oleh Allah dunia ini. Kemuliaan bukan dengan pencapaian duniawi, tanda kemuliaan bukan dengan berharta atau berpangkat, melainkan dengan takwa.

Takwa itu tandanya hatinya yakin, patuh kepada Allah, lahir batin. Ridho dengan semua takdir yang telah ditetapkan Allah. Allah tidak pernah zalim dalam menentukan takdir kita. Jelas hidup ini hanya mampir sebentar di dunia dan dunia tidak dibawa ke alam kubur.

Siti hajar ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim yang merupakan perintah Allah, ia pun mengikutinya. Lalu tatkala membutuhkan rejeki air untuk diri dan anaknya, beliau pun berlari-lari mencari air ke bukit shafa dan marwah. Namun airnya tidak muncul di bukit tersebut melainkan di sekitar ka’bah yang berjarak seratus meteran dari sana.

Maka tugas kita dalam hal ini adalah untuk menyempurnakan ikhtiar, bukan menentukan hasil. Jangan pernah risau dengan janji Allah. Sesungguhnya yang berbahaya bagi diri kita adalah keburukan dari diri kita sendiri. Orang lain hanya menjadi jalan.

http://www.eramuslim.com/fckfiles/image/ramadhan/sayangi-iman-anda.jpg

Sekarang masalah apa pun yang menimpa, jangan sibuk dengan orang yang menjadi jalan, melainkan sibuk dengan diri kita yang menjadi penyebabnya. Kebaikan kembali pada pembuatnya, begitu pula keburukan. Tidak ada yang merusak diri kita selain dari keburukan diri kita.

Ketika kita menghadapi kesulitan, kita tidak bisa menyelesaikan dengan kemampuan kita, melainkan dengan pertolongan Allah. Bagaimana jalan keluarnya? Adalah dengan bertaubat.

Barangsiapa yang memperbanyak istighfar, Allah akan melegakkan hatinya, Allah akan memberi jalan keluar, dan rejeki pertolongan dari yang tidak terduga.

‘maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS Nuh : 10-12)

Rejeki termahal dalam hidup ini adalah hati yang yakin, dan lahiriahnya patuh kepada Allah dengan istiqamah. Kesuksesan orang adalah yakin kepada Allah, tidak ada keraguan dalam hatinya. Tidak bersedih hati. Kunci yakin adalah hati yang bersih. Makin bersih dari kemusyrikan, kemunafikan, dan cinta duniawi, hati akan langsung merasakan keyakinan, hati peka, doa mustajab, akhlak mulia, dan auranya nyaman. Maka jangan ukur kesuksesan seseorang dengan duniawinya, melainkan lihatlah sejauh mana keyakinannya yang merupakan karunia Allah tidak ada bandingannya.

Sekuat tenaga mengarungi hidup, disertai dengan semangat kebersihan hati. Cari teman yang bisa membantu membersihkan hati. Seperti mobil yang tidak jalan whipernya/ pembersih kaca ketika hujan deras, maka dia akan risau. Bukan tidak adanya jalan, melainkan tidak bisa melihat jalan. Seperti itu pula ketika kita melihat dengan mata hati yang tertutup dosa. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah, seperti kaca yang bersih, maka akan tampak semua yang ada, karena tidak tertutupi, seperti udara bagi paru-paru ini, solusi sesungguhnya terhampar di dekat kita.

http://www.eramuslim.com/ramadhan/tausyiah/rahasia-nikmatnya-hidup.htm

Salam,

Target Hidup

oleh : A'a Gym

Barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung.
Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, ia rugi.
Barangsiapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia celaka.

Sesungguhnya setiap manusia merugi kecuali orang-orang yang memanfatkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Orang merugi bisa dilihat dari bagaimana perilakunya ketika ia naik kedudukan duniawinya. Di dalam ajaran Islam, yang penting itu percepatan, bukan kecepatan. Bedanya, kecepatan itu konstan, percepatan itu perubahan kecepatan per satuan waktu. Seperti balap mobil. Satu mobil tetap dalam kecepatan sekian, sedangkan yang lainnya bertahap kecepatan hingga meninggi. Mobil kedua ini tentunya yang akan menang.

Kita banyak sekali melakukan kelalaian yang haru kita taubati. Taubatnya kita dibuktikan dengan mengisi sisa waktu kita dengan yang bermanfaat sebaik-baiknya, dan mengajak orang lain untuk menjalankan kebaikan ini.

Waktu itu amat menghakimi diri kita. Bila waktu kita isi sia-sia, maka kita akan menjadi orang sia-sia. Apabila kita isi dengan perbuatan buruk, maka kita harus siap menanggung perbuatan buruk kita, kecuali dihapus dengan bertaubat.

Waktu itu sama bagi siapa pun, di mana pun, sehari semalam sebanyak 24 jam. Akan tapi mengapa dalam sehari orang ada yang bisa mengurus perusahaan besar, misalnya, tapi ada juga orang yang tidak bisa mengurus dirinya pun. Tidak boleh menyalahkan waktu, pasti kita tidak serius mengaturnya. Pasti tidak serius menggunakan waktu seefektif dan seefisiennya, sehingga Rasulullah Saw pun mengingatkan bahwa ada dua nikmat yang kebanyakan manusia terlena, yakni nikmat kesehatan dan waktu luang.

http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/ramadhan/10-sifat.jpg

Sesungguhnya Allah SWT sudah menyiapkan waktu kepada kita umat manusia sama jumlahnya. Bagaimana rahasianya manusia bisa menjalankan percepatan? Segala sesuatu jalannya sering ditentukan pada target yang hendak dicapai. Misalnya, orang yang tidak memiliki target hapalan juz’amma, maka tidak akan tercapai-capai sampai kapan pun hapal juz 30-nya. Kalau tidak bisa menargetkan yang demikian tinggi, kita harus bisa mengukur kemampuan diri atau memakai sistem pentahapan. Misal lain, target terpenting dalam hidup ini menjadi orang yang bertakwa (ahli takwa). Jangan sampai mati kecuali dalam keadaan beriman. Dengan target seperti itu ia akan memanfaatkan waktu seoptimalnya. Perintah dan larangan Allah Swt demikian dijaga. Dan dilakukan pentargetan tahapan, seperti ibadah harian yang ditentukan percepatannya, sehingga makin bertambah amal-amalnya.

Orang-orang yang menjadikan kematian sebagai salah satu target, maka ia akan meningkat percepatannya. Percepatan yang sangat penting adalah apakah dalam waktu yang sama menambah hebatnya amal, walaupun tidak dipungkiri tiap kita berbeda-beda kemampuannya.

Perlu kita mencontoh bagaimana manfaat sinar matahari. Supaya rumah ini terang, kita harus mempunyai keinginan membuka jendela dan garden-garden. Allah sangat luas memberikan hidayah dan karunianya, hanya kitanya sendiri yang tidak membuka diri. Tidak ada ketenangan kecuali dengan hati yang bersih. Tidak ada amal yang diterima kecuali dengan hati yang bersih. Makanan ada tapi mangkok kotor, apakah yang dipikirkan, makanan atau mangkok? Yang paling penting dari percepatan itu apa pun adalah kebersihan hati.

Kebersihan bisa dikeruk dan jangan sampai ditahan. Kalau sudah makin bersih akan banyak yang ditampakkan dari rahasia kehidupan ini, seperti lalu lintas rejeki, kesalahan-kesalahan diri, dan sebagainya. Tidak ada yang menghalangi pertolongan Allah, kecuali oleh dosa-dosa kita. Di antara ibadah yang efektif pula dapat membersihkan hati adalah dengan sholat.

Ibarat dengan orang yang memiliki penyakit menular, maka kita pun akan takut tertular. Seperti itulah kalau kita bergaul dengan orang yang bisa menularkan sikap buruk. Dan tiada satu pun perbuatan yang menimpa kecuali dari perbuatan kita sendiri.

http://www.eramuslim.com/ramadhan/tausyiah/target-hidup.htm

Salam,

Selasa, 01 Maret 2011

Saudaraku,Bagaiman kabar Iman Dalam Hatimu?


Hati...
Ibarat rumah yang tak mungkin ada dua penghuni di dalamnya.Satu-satunya yang paling berhak menguasai,merajai dan menjadi pujaan hati adalah Sang Maha Pemilik Segala kerajaan(Al-Maalikul Mulki).Tidak ada dan tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi-Nya di dalam hati.
Jika sesuatu selain Dia masuk tanpa seizin-Nya,maka saat itu pula seorang hamba bisa kehilangan Dia.Fatal...itulah akibatnya.
Hati...
Adalah poros kebaikan dan kerusakan.
Kekhusyu'an zhohir(lahiriyah anggota badan) adalah penyempurna kekhusyu'an hati sekaligus lambangnya.Sedangkan kerusakan zhohir adalah bukti kerusakan bathin(hati).
Hati-hati...
Lazimnya sifat manusia suka memilih-milih,namun harus diingat bahwa harus dipilah,mana yang sifatnya nafsu dan mana yang sifatnya qalbu(hati).Mana yang merupakan kepentingan makhluq dan mana yang lebih bersifat rabbani.
Ketika keresahan melanda,tidak tahu kemana arah yang harus dituju,ketika langkah terasa berat,dan dilingkupi keraguan.Maka cobalah berhenti sejenak,lalu
"Mintalah fatwa pada hatimu sendiri,kebajikan adalah sesuatu yamg membuat tenang jiwa dan hati,sedang dosa adalah sesuatu yang mengusik jiwa dan meragukan hati"{Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ad-Darimi}.
"Qul aamantu billaah(katakanlah,"aku beriman kepada Alloh) tsummas taqiim(kemudian istiqamahlah)"{HR.Muslim}.
Iman kepada Alloh itu dengan hati sedang istiqamah itu dengan amal yang dibangun di atas iman,kedua kata itu telah mencakup seluruh muatan agama.{Syaikh Al-Utsaimin}.
Sebagian ulama mengungkapkan,
"Tidaklah hati itu disebut 'Al-Qalb',melainkan karena ia berbolak-balik(taqallub) maka waspadailah keberbolak-balikan hati"{Ibnu Daqiq Al-Id dalam Syarah Hadits Arba'in An-Nawawiyah}.
Wallohul musta'aan walaa hawla walaa quwwata illaa billaah.(from Inpiring story)

Assalamualikum, setelah lama tak kirim cerita, berikut cerita yg mungkin dpt merubah kepribadian kita, minimal mindset kita tentang kehidupan dan kemanusiaan

EMPATI
By: Andy F Noya
Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari.Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja.



Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya.Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit.Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.



Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya.Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chicken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat orang lain senang.



Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia.

Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membukapintu, menahannya sebentar dan menoleh ke belakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.
Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberat-kan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu.Mulailah sekarang juga.

(from Inspiring story)